Sejarah Polowijen

Polowijen (Panawijen) sebagai suatu komunitas desa secara eksplisit telah disebut dalam “Prasasti Wurandungan B” pada jaman Mpu Sindok yang dicatat oleh Brandes dengan angka tahun 865 Saka (943 M). Dalam naskah Pararaton, Panawijen dikenal dengan tempat sucinya sejak tahun 948 M sampai Mpu Purwa (ayah Ken Dedes) tinggal di Panawijen sekitar tahun 1180-an hingga Majapahit berakhir.

Perkembangan desa selanjutnya tidak banyak diketahui, hingga datangnya tokoh pembuka hutan/bedah krawang yaitu Eyang Jibris dari Demak yang sekaligus menyebarkan agama Islam di Polowijen. Kapasitas peran tokoh Eyang Jibris tidak banyak diketahui, tetapi masyarakat yakin bahwa beliaulah yang mulai memimpin masyarakat Polowijen dalam nuansa masa Islam. Kronologis Tetua Desa dari Eyang Jibris hingga sekarang sulit diketahui. Pada awalnya dikenal istilah Petinggi, kemudian Kepala Desa dan selanjutnya Lurah sejak perubahan bentuk pemerintahan Desa menjadi Kelurahan pada tahun 1985.

Dalam perkembangannya, Desa Polowijen pernah mencuat sebagai daerah master tentang seni kriya dan seni tarinya pada jaman penjajahan Belanda tahun 1900-an. Pada tahun 1900 – 1940-an, Polowijen terkenal dengan seni tradisional tari topengnya. Nama Polowijen selalu diikuti oleh eksistensi Reni sebagai pengrajin dan penari Topeng Malangan terbesar, sehingga Desa Polowijen terkenal dengan sebutan Desa Reni. Mbah Reni adalah seorang petani kaya yang tinggal di Polowijen dan memimpin salah satu rombongan wayang topeng terbaik pada masanya. Mbah Reni wafat pada 1935 dan dimakamkan di Polowijen.

Dalam pelaksanaan Evaluasi pengembangan kelurahan yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 81 Tahun 2015 telah dibedakan menjadi beberapa bidang yang meliputi diantaranya adalah Bidang Pemerintahan dan Bidang Kewilayahan dan Bidang Kemasyarakatan, maka bersama ini Gambaran umum Kelurahan Polowijen dapat disampaikan sebagaimana dibawah ini.